
Obat Aborsi – Sepanjang perjalanan peradaban manusia, pengaturan kelahiran dan penghentian kehamilan telah menjadi bagian dari realitas sosial meskipun sering diselimuti tabu, mitos, dan risiko besar. Sebelum kemajuan ilmu kedokteran modern, masyarakat dari berbagai belahan dunia mengembangkan beragam cara untuk mengatasi kehamilan yang tidak diinginkan. Artikel ini mengeksplorasi praktik-praktik kuno tersebut, yang mencerminkan perjuangan manusia dalam menguasai reproduksinya sendiri dengan segala keterbatasan pengetahuan dan teknologi masa lalu.

Dokumentasi Obat Aborsi di Era Zaman Dulu
Bukti tertua mengenai praktik aborsi ditemukan dalam manuskrip kuno dari berbagai budaya. Papyrus Ebers Mesir (1550 SM) mencatat resep “pengusir kehamilan” yang terdiri dari campuran madu, biji-bijian, dan buah akasia yang difermentasi. Asam laktat yang dihasilkan dari fermentasi ini diketahui memiliki sifat dapat merangsang kontraksi rahim. Sementara itu, Papyrus Kahun (1850 SM) yang khusus membahas kesehatan perempuan, menyebutkan penggunaan umbi silphion (sejenis tanaman yang sekarang telah punah) yang sangat populer di dunia Mediterania kuno hingga menjadi simbol pengaturan kelahiran pada koin Romawi.
Di Yunani kuno, tabib ternama seperti Hippocrates (460-370 SM) dalam Sumpah Hipokratesnya justru menyatakan tidak akan memberikan “obat penggugur”, namun dalam praktiknya, para tabib Yunani mengenal berbagai ramuan emmenagogue (penggugur kandungan). Dioscorides, tabib abad pertama Masehi, dalam bukunya “De Materia Medica” mendokumentasikan penggunaan rue (Ruta graveolens), myrrh, dan savin (Juniperus sabina) sebagai bahan penggugur.
Ramuan Herbal Tradisional: Antara Ilmu dan Mitos
Masyarakat tradisional mengembangkan farmakope herbal yang kompleks untuk keperluan reproduksi. Di Tiongkok kuno, catatan dari Dinasti Han menunjukkan penggunaan kombinasi ginseng liar, akar kunyit (Curcuma), dan dong quai (Angelica sinensis) dalam dosis tinggi. Kitab pengobatan “Shennong Bencao Jing” (sekitar 200 SM) juga menyebutkan properti aborsif dari minyak biji aprikot, yang mengandung amygdalin yang beracun dalam konsentrasi tinggi.
Di India, Ayurveda memiliki konsep “Garbha-patan” yang berarti “jatuhnya janin”. Kitab Susruta Samhita (abad ke-6 SM) menjelaskan penggunaan neem (Azadirachta indica), kunyit, dan buah papaya mentah, yang mengandung enzim papain yang diketahui dapat mengganggu kehamilan. Sementara di Nusantara, berbagai manuskrip lontar dan tradisi lisan menyebut penggunaan daun nanas muda, bunga pepaya, dan rami liar yang diminum sebagai jamu pegal linu namun dalam konsentrasi tinggi diyakini dapat menggugurkan kandungan.
Suku-suku asli Amerika menggunakan akar cohosh biru (Caulophyllum thalictroides) dan cotton root bark (Gossypium) yang masih digunakan dalam pengobatan herbal modern untuk masalah menstruasi. Pengetahuan ini kemudian diadopsi oleh para budak Afrika di Amerika yang menggunakan akar cotton sebagai cara untuk mengontrol reproduksi mereka di bawah sistem perbudakan.

Cara Fisik dan Mekanis yang Berbahaya
Selain ramuan herbal, praktik-praktik berisiko tinggi juga diterapkan. Masyarakat Romawi kuno mengenal teknik pijat abdominal keras yang dilakukan oleh para “penggugur kandungan” profesional yang disebut “sagae”. Cara ini sering mengakibatkan ruptur rahim dan kematian. Aktivitas fisik ekstrem seperti mengangkat beban berat, melompat dari ketinggian, atau berlatih keras juga umum dilakukan.
Di beberapa budaya, alat-alat primitif digunakan untuk menginduksi aborsi. Stick atau batang logam, tulang yang diruncingkan, atau akar tanaman keras dimasukkan ke dalam serviks untuk memecahkan ketuban. Praktik mengerikan ini memiliki tingkat kematian ibu yang sangat tinggi akibat infeksi, perforasi organ, dan perdarahan. Catatan abad pertengahan Eropa menunjukkan penggunaan alat rajut atau kawat yang dimasukkan ke dalam rahim.

Dokumentasi dalam Sastra dan Catatan Hukum
Sumber-sumber sastra kuno memberikan gambaran tentang praktik aborsi di masa lalu. Dalam drama Yunani “Lysistrata” karya Aristophanes, terdapat referensi tentang penggunaan ramuan untuk menghentikan kehamilan. Puisi Romawi karya Ovid dan Juvenal juga menyebutkan praktik aborsi di kalangan perempuan bangsawan.
Dari perspektif hukum, Kode Hammurabi (1754 SM) memberikan sanksi finansial bagi orang yang menyebabkan keguguran pada perempuan bangsawan, mencerminkan nilai ekonomi atas reproduksi. Hukum Romawi awal membedakan antara “embrio inanimatus” (janin belum bernyawa) dan “animatus” (telah bernyawa), yang mempengaruhi status hukum aborsi. Namun, seiring penyebaran Kristen, hukum Romawi kemudian memperketat pelarangan aborsi.
Pengetahuan yang Diwariskan Secara Rahasia
Pengetahuan tentang cara pengguguran sering kali merupakan rahasia perempuan yang diwariskan turun-temurun. Di Eropa abad pertengahan, para “wise women” atau “bidan desa” menjadi penjaga pengetahuan ini. Mereka menggunakan ramuan seperti tansy (Tanacetum vulgare), pennyroyal (Mentha pulegium), dan parsley (Petroselinum crispum) dalam konsentrasi tinggi.
Namun, dengan adanya Pengadilan Inkuisisi dan tuduhan sihir, banyak dari perempuan berpengetahuan ini yang menjadi korban penyihiran. Pada abad ke-15 hingga ke-18, ribuan perempuan (dan beberapa laki-laki) yang dituduh menyediakan jasa pengguguran atau kontrasepsi dihukum sebagai penyihir.
Efektivitas dan Risiko yang Tidak Terukur
Kebanyakan cara kuno ini memiliki efektivitas yang tidak konsisten dan risiko kematian yang tinggi. Tanpa pemahaman tentang dosis tepat, sterilisasi, atau fisiologi reproduksi, banyak perempuan yang meninggal karena keracunan herbal, septikemia (keracunan darah), perforasi organ, atau perdarahan hebat. Angka kematian ibu diperkirakan mencapai 30-50% untuk kasus aborsi yang dilakukan dengan cara berbahaya.
Beberapa tanaman yang digunakan memang mengandung senyawa aktif yang berpengaruh pada sistem reproduksi. Ergot (Claviceps purpurea), jamur pada gandum hitam, mengandung alkaloid yang menyebabkan kontraksi uterus dan menginspirasi pengembangan ergometrin modern. Quinine dari kulit pohon kina juga diketahui memiliki efek aborsif dalam dosis tinggi.
Transformasi Menuju Kedokteran Modern
Pada abad ke-19, dengan berkembangnya ilmu kedokteran dan standardisasi praktik medis, cara-cara tradisional mulai ditinggalkan. Instrumen bedah yang lebih steril seperti kuret mulai dikembangkan, meskipun masih sangat berisiko tanpa antibiotik. Periode ini juga ditandai dengan pelarangan aborsi di banyak negara Barat yang mendorong praktik bawah tanah dengan risiko lebih tinggi.
Pengetahuan herbal tradisional tidak sepenuhnya hilang, namun mengalami transformasi. Beberapa senyawa aktif dari tanaman dipelajari dan diisolasi untuk pengobatan obstetri modern. Penelitian tentang prostaglandin pada tahun 1930-an, misalnya, membuka jalan bagi cara farmakologis modern.
Refleksi atas Sejarah yang Kelam
Sejarah obat aborsi di zaman dulu mencerminkan dilema kemanusiaan yang abadi antara kebutuhan mengontrol reproduksi dengan keterbatasan pengetahuan dan sumber daya. Meski tampak primitif dan berbahaya dari lensa modern, praktik-praktik ini menunjukkan upaya perempuan menguasai tubuh mereka sendiri dalam konteks sosial dan teknologi yang membatasi.
Warisan sejarah ini mengingatkan kita bahwa akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi yang aman bukanlah kemewahan, tetapi kebutuhan dasar yang telah diperjuangkan manusia selama ribuan tahun. Di era modern, dengan cara medis yang lebih aman, isu aborsi tetap kompleks, namun setidaknya risiko kematian ibu dapat diminimalisir dengan standar kedokteran yang tepat.
Pelajaran dari sejarah menunjukkan bahwa larangan aborsi tidak pernah menghilangkan praktiknya, tetapi hanya menggesernya ke ranah yang lebih berbahaya. Pemahaman sejarah ini penting untuk membangun kebijakan reproduksi yang berpusat pada keselamatan, kesehatan, dan otonomi perempuan di masa sekarang dan mendatang.
Temukan Kami Di Google